Jumat, 11 Januari 2013

Analisis Novel Pram

-->
REALISME-SOSIALIS: KAUM PROLETARIAT
NOVEL BUMI MANUSIA
KARYA PRAMOEDYA ANANTA TOER

1.         Latar Belakang
Pengalaman hidup di masyarakat merupakan pengalaman yang sering menjadi pelajaran di kehidupan pribadi manusia. Manusia sebagai makhluk sosial adalah  manusia yang tidak dapat hidup sendiri tanpa adanya interaksi dengan orang lain. Melalui interaksi tersebut manusia dapat merasakan apa yang dapat dipelajari dari kehidupannya. Sehingga melalui pengalaman, ia dapat memberikan kesan dan pelajaran bagi orang lain.
Plato mengatakan bahwa sebuah novel yang merupakan karya sastra adalah cermin dunia nyata (mimesis). Segala yang ada di dunia sebenarnya tiruan dari kenyataan tertinggi yang berada di dunia gagasan. (Sastra sebagai cermin masyarakat). Sastra menggambarkan kehidupan sosial, ekonomi, politik, dan budaya masyarakat itu sendiri, tetapi penggambarannya sedikit di dramatisasi oleh pengarang karena sastra adalah dunia fiksi. Apabila karya sastra sepenuhnya menggambarkan kenyataan yang nyata akan menjadi karya sejarah. Sebaliknya, apabila karya sastra sepenuhnya hasil imajinasi pengarang, maka pembaca akan sulit memahami makna karya sastra tersebut. (Novianti, 2009:3)
Pramoedya Ananta Toer adalah seorang pengarang ternama masa orde baru. Pramoedya dengan indah menceritakan penderitaan kaum pribumi di bawah kolonialisme Belanda di Jawa pada akhir abad 19 dan awal abad 20. Pram dalam novel ini berhasil menunjukkan kejahatan kolonialisme seperti diskriminasi ras, hukum yang kejam dan tidak adil, egois, tidak manusiawi, buta terhadap realitas sosial, tidak bermoral.
Ketertarikan penulis terhadap Novel Bumi Manusia ini adalah menceritakan tentang perjalanan seorang tokoh bernama Minke. Minke adalah salah satu anak pribumi yang sekolah di HBS. Pada masa itu, yang dapat masuk ke sekolah HBS adalah orang-orang keturunan Eropa. Minke adalah seorang pribumi yang pandai, ia sangat pandai menulis. Minke digambarkan sebagai seorang revolusioner di buku ini. Ia berani melawan ketidakadilan yang terjadi pada bangsanya. Ia juga berani memberontak terhadap kebudayaan Jawa, yang membuatnya selalu dibawah. Selain itu dijelaskan pula perbedaan dengan masyarakat Eropa dengan beberapa yang dapat diketahui karakter masyarakat Eropa dan hal-hal apa saja yang menjadi adapt kebiasaannya.
Dengan judul makalah “Realisme-Sosialis: Kaum Proletariat (Masyarakat Pribumi-Eropa) Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer” semoga menjadi penelitian yang menarik.

2.         Rumusan Masalah
Bagaimana Realisme-Sosialis: Kaum Proletariat  (Masyarakat Pribumi-Eropa) Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer?

3.                  Tujuan
Mengetahui Realisme-Sosialis: Kaum Proletariat  (Masyarakat Pribumi-Eropa) Novel Bumi Manusia Karya Pramoedya Ananta Toer?

4.                  Manfaat
a.                   Secara Umum, penelitian ini sebagai uji coba terhadap penulis mengenai bentuk analisis terhadap sosiologi sastra
b.                  Secara khusus, penelitian ini dapat memberikan tambahan pengetahuan dan wawasan terhadap kehidupan sosial dan pembahasannya di dalam karya sastra










LANDASAN TEORI

1.             Realisme-Sosialis
                Realisme Sosialis merupakan teori seni yang mendasarkan pada kontemplasi dialektik antara seniman dengan lingkungan sosialnya. Seniman ditempatkan tidak terpisah dari lingkungan tempat-nya berada.
Realisme sosialis itu sendiri bukan hanya penamaan satu metode di bidang sastra, tapi lebih tepat dikatakan satu hubungan filsafat, metode penggarapan dengan apresiasi estetiknya sendiri. Penamaan satu politik estetik di bidang sastra yang sekaligus juga mencakup kesadaran adanya front, adanya perjuangan, adanya kawan-kawan sebarisan dan lawan-lawan di seberang garis, adanya militansi, adanya orang-orang yang mencoba menghindari diri dari front ini untuk memenangkan ketakacuhan.

2.             Proletariat
                Proletariat (dari Latin proles) adalah istilah yang digunakan untuk mengidentifikasikan kelas sosial rendah; anggota kelas tersebut disebut proletarian. Awalnya istilah ini digunakan untuk mendeskripsikan orang tanpa kekayaan; istilah ini biasanya digunakan untuk menghina. Di era Roma Kuno penamaan ini memang sudah ada dan bukan hanya orang tanpa kekayaan saja, melainkan juga kelas terbawah masyarakat tersebut. Hal ini terjadi sampai Karl Marx mengubahnya menjadi istilah sosiologi yang merujuk pada kelas pekerja.
                Istilah proletar dalam ilmu sosiologi sebenarnya bukan barang baru lagi saat Karl Marx pertama kali merujuknya sebagai salah satu kelas proletar. Kelas ini sebenarnya sudah banyak muncul sebagai sebuah rujukan kelas dengan nama-nama yang berbeda. Dalam artian Karl Marx proletar adalah masyarakat kelas kedua setelah kelas kapitalis yang hidup dari gaji hasil kerjanya. Banyak streotip yang memandang bahwa proletar hanya terbatas sebagai masyarakat kelas rendah. Pekerjaan mereka tak lepas dari buruh, petani, nelayan atau orang-orang yang berkutat dengan pekerjaan tangan - baca pekerjaan kasar.
                Ada beberapa contoh kaum proletar di Dunia. Di masyarakat Eropa, khususnya saat sebelum Revolusi Perancis terjadi, proletar dapat diartikan peasant. Dimana waktu itu jumlah masyarakat ini mendominasi Perancis, namun tidak memiliki kekuatan. Kekuatan dibawa oleh kaum Bangsawan yang biasanya juga dianggap sebagai masyarakat pemerintah dan pemegang kapital bersama kaum Pendeta. Di India masyarakat dibatasi dengan adanya kasta yang dilegalisasi oleh agama mereka.
                Kaum proletar disana dibagi menjadi dua bagian. Pertama adalah kaum sudra yang merupakan kelas orang-orang pekerja dan pelayan. Kedua adalah Pariah, sebenarnya kelas ini adalah kelas terbuang dari kelas-kelas sebelumnya bahkan bisa dibilang kelas ini merupakan kelompok masyarakat yang tidak diakui dalam kasta. Pekerjaan kaum pariah adalah yang paling memilukan dari segala pekerjaan yang diemban oleh kelas lainya, karena tugas mereka adalah tugas-tugas yang dianggap tidak layak untuk dilakukan. Di Indonesia, terutama di Jawa era kolonial, masyarakat proletar dipegang oleh kaum pribumi. Mereka adalah orang yang paling tereksploitasi dalam era-era kolonial Hindia Belanda. Menurut peraturan yang dibuat pemerintah kolonial, mereka benar-benar dikurangi haknya sampai batas minimal.

3.         Pandangan Karl Marx

Dalam pemikiran Karl Marx, ini adalah kelas kedua dalam stratifikasi sosial yang ia ciptakan. Proletar adalah kelas yang menerima gaji oleh kelas pertama yaitu kelas majikan. Mereka bekerja guna memenuhi kebutuhan mereka sehari-hari. Sedang kelas majikan bekerja dengan mencari untung atau laba. Kelas Proletar sering menjadi target eksploitasi para majikan yang berorientasi kapitalis ini. Untuk itu mereka sering diperas tenaganya dan diberikan gaji yang rendah guna kepentingan meraup laba sebesar-besarnya. Para proletar ingin hidup dengan tenang, maka dia yang hidup untuk bekerja akan mengalami alienasi atau keterasingan. Mereka adalah orang-orang yang tak bisa menciptakan lapangan kerja sendiri sehingga menumpang pada para pemodal untuk menciptakan barang dengan nilai lebih. Nilai lebih ini tercipta dari rumusan nilai barang dikurangi nilai seluruh hasil produksi dan menciptakan untung.
Oleh karena itu, proletar yang kehilangan kebebasanya akan memprotes tirani kapitalis tersebut dengan demonstrasi dan hal-hal lain yang diperlukan. Namun para kapitalis tersebut akan menolaknya. Mereka dipihak pemerintah karena merekalah yang memberi kekayaan negara, terutama di negara-negara berideologi liberalisme. Jika pemerintah tidak mengimbangi hak-hak kaum proletar dan mengejar untung dari para majikan tersebut, sebuah gerakan anarkisme pun terjadi dan mungkin akan menciptakan revolusi. Pasca revolusi maka terciptalah perubahan dari kapitalisme yang mencekik menjadi negara sosialis yang mendukung rakyat atau kaum proletar.

4.         Sosiologi Sastra
Menurut Umar Junus, sosiologi sastra adalah gabungan ilmu sosiologi dan sastra yaitu studi ilmiah dan objektif mengenai manusia dan masyarakat; studi mengenai lembaga dan proses sosial. Panuti Sudjiman mengatakan bahwa sosiologi sastra adalah karya kritikus dan sejarawan yang mengungkapkan bagaimana pengarang terpengaruh oleh status lapisan masyarakat; dari mana ia berasal, kondisi ekonomi pengarang, serta khalayak yang dituju. Sapardi Djoko Damono mengatakan bahwa sosiologi sastra adalah pendekatan terhadap suatu karya sastra yang mempertimbangkan segi-segi kemasyarakatan.
Definisi lain, Sosiologi sastra berasal dari kata sosiologi dan sastra. Sosiologi berasal dari akar kata sosio (Yunani) (sosius berarti bersama-sama, bersatu, berkawan, dan berteman). Logi (Logos berarti sabda, perkataan dan perumpamaan). Perkembangan berikutnya mengalami perubahan makna, sosio/ sociusberarti masyarakat. Logos berarti ilmu. Jadi sosiologi sastra berarti ilmu pengetahuan yang memelajari asal usul dan pertumbuhan (evolusi masyarakat), ilmu pengetahuan yang memelajari keseluruhan jaringan hubungan antarmanusia dalam masyarakat, sifatnya umum, rasional dan empirus. Sastra dari akar kata sas (Sanskerta) berarti mengarahkan, mengajar, nuku petunjuk dan instruksi. Akhiran tra berarti alat, sarana. Jadi sastra berarti kumpulan alat untuk mengajar, buku petunjuk atau buku pengajaran yang baik. Makna kata sastra bersifat lebih spesifik sesudah terbentuk menjadi kata jadian, yaitu kesusastraan, artinya kumpulan hasil karya yang baik (Ratna, 2003:1-2) dalam Novianti  2009:15.
            Sosiologi adalah suatu telaah objektif  dan ilmiah tentang manusia dalam masyarakat dan proses sosial. Sosial menelaah tentang bagaimana masyarakat itu tumbuh dan berkembang. Dengan memelajari lembaga-lembaga sosial dan segala masalah ekonomi, keagamaan, politik dan lain-lain kita mendapat gambaran tentang cara-cara manusia menyesuaikan diri dengan lingkungannya, mekanisme kemasyarakatannya serta proses pembudayannya. (Semi, 1989:52)
5.         Tinjauan secara Strukturalisme Genetik
Pradopo (2002: 259) mengatakan bahwa Lucien Goldmann, seorang tokoh sosiologi sastra yang terkenal dari Perancis penganut aliran marxis. Karya sastra yang bernilai (artistic work) merupakan struktur yang bermakna (Significant Structure) dan memunyai koherensi di dalamnya (Internal Coherence) (Goldmann, 1981:75) dalam Pradopo, 2002:259).  Struktur yang bermakna itu mewakili pandangan dunia (vision du monde) penulis sebagai wakil golongan masyarakatnya. Dengan demikian, karya sastra dapat dipahami asal terjadinya (genetik) dari latar belakang kemasyarakatan tertentu.(Cf. Teeuw, 153). Dikemukakan Damono (1979:43) bahwa sosiologi sastra yang dikembangkan oleh Goldmann mencoba untuk menyatukan analisis struktural dengan materialisme historis dan dialektik. Karya sastra harus dipahami sebagai totalitas bermakna.
Salah satu prinsip dasar metode sosiologis Goldmann ialah dapat realistik, sosiologi harus bersifat historis, untuk bisa ilmiah dan realistik, penelitian sejarah harus sosiologis. Damono (1979:44) juga mengembangkan konsep tentang pandangan dunia (vision du monde, world vision) yang terwujud dalam karya sastra dan filsafat besar. Pandangan dunia adalah suatu struktur global yang bermakna dengan segala kerumitan dan keutuhannya, erat sekali hubungannya dengan kelas-kelas sosial. Pandangan dunia itu merupakan “kesadaran sejati” karena diperoleh dari pemahaman dunia yang dipandang sebagai suatu keutuhan. Pandangan demikian terwujud dalam sastra dan filsafat.



ANALISIS DAN PEMBAHASAN


1.      Realisme-Sosialis: Kaum Proletariat  (Masyarakat *Pribumi-Eropa)
a.             Perbedaan Tingkat Pendidikan Jawa-Eropa
                Penggolongan sosial merupakan pembedaan anggota masyarakat, golongan secara horizontal atas dasar perbedaan ras, jenis kelamin, agama, profesi, dsb. Dalam hal ini dikemukakan pada penggolongan sosial tingkat pendidikan. Pada masa kolonial penggolongan masyarakat didasarkan pada perbedaan ras yaitu Golongan Eropa yang terdiri dari orang Belanda, Inggris, Amerika, Belgia, Swiss, dan Perancis.
Golongan Eropa merupakan golongan pendatang yang sangat minoritas. Mereka memiliki kekuasaan yang besar di Indonesia. Status sosial mereka lebih tinggi dibandingkan dengan golongan-golongan lain yang ada. Mereka adalah para pemilik modal yang menanamkan modalnya di perusahaan perkebunan Indonesia.
                Kemudian yang ke dua adalah golongan Pribumi. Yaitu merupakan kelompok mayoritas dan merupakan pemilik negeri ini. Mereka merupakan penduduk asli Indonesia. Tetapi merupakan orang yang tertindas dan terjajah. Kedudukannya adalah yang paling rendah (lapisan terbawah) dan dibebankan banyak kewajiban tetapi hanya kurang diperhatikan.
                Indonesia dijadikan objek sentralisasi. Sentralisasi dipandang sebagai cara terbaik oleh pemerintah Belanda untuk memperoleh keuntungan sebesar-besarnya. Oleh karena itu, dengan sentralisasi Belanda dapat mempertahankan tanah jajahannya.
Sentralisasi sebagai bentuk ketakutan Belanda untuk kehilangan tanah jajahannya sebagai “daerah keuntungan”. Bagi Belanda “kehilangan Indonesia berarti sebuah malapetaka”.
Masyarakat mempertahankan tanah jajahannya hanya untuk menunggu sampai mereka mendapatkan apa yang diinginkannya. Ini terlihat dalam novel Bumi Manusia karya Pram yang menunjukkan adanya keinginan desentralisasi, membutuhkan orang-orang pribumi bukan hanya sebagai penguasaan daerah tetapi juga untuk mengerjakan keperluan administrasi pemerintah. Belanda juga membutuhkan tenaga terlatih (tenaga kesehatan, kehutanan, kemiliteran, kepolisian). Orang-orang pribumi tersebut akan dijadikan pelaksana, pelayan pemerintah, serta perantara antara Belanda dan penguasa daerah. Tetapi untuk dapat bekerja di pemerintah maka mereka harus sekolah.
            Berkaitan dengan hal ini, Pram ingin menunjukkan bahwa orang Eropa yang memanfaatkan tenaga ahli (khusus pribumi).
”Aku tak pernah bersekolah, Nak, Nyo, tak pernah diajar mengagumi orang Eropa. Biar kau belajar sampai puluhan tahun, apa pun yang kau pelajari, jiwanya sama:mengagumi mereka tanpa habis-habisnya, tanpa batas, sampai-sampai orang tak tahu lagi dirinya sendiri siapa dan dimana. Biar begitu memang masih lebih beruntung yang bersekolah. Setidak-tidaknya orang dapat mengenal bangsa lain yang punya cara-cara tersendiri dalam merampas milik bangsa lain. (Ananta Toer, 2009: 500)

                Wanita pribumi, Nyai Ontosoroh yang mengatakan bahwa dirinya tidak pernah sekolah dan tak pernah mengagumi Eropa. Di sisi lain, Minke yang notabene adalah siswa HBS yang belajar puluhan tahun adalah tetap mengagumi orang Eropa. Minke tidak sadar bahwa sebenarnya dirinya telah dijajah. Minke telah dijadikan objek sentralisasi. Dalam novel ini dijelaskan bahwa Eropa sengaja memanfaatkan kecerdasan kaum Pribumi dengan disekolahkan hanya untuk tunduk di dalam perintahnya, tunduk di dalam aturan hukumnya. Oleh karena itu, Nyai Ontosoroh yang tidak bersekolah merasa bahwa dirinya pun bisa pandai dan cerdas tanpa harus merasa kagum terhadap masyarakat Eropa.


b.         Masyarakat Jawa-Eropa : Kekuasaan akibat Desentralisasi
Desentralisasi adalah penyerahan kewenangan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk mengurusi urusan rumah tangganya sendiri berdasarkan prakarsa dan aspirasi dari rakyatnya dalam kerangka negara kesatuan Republik Indonesia. dengan adanya desentralisasi maka muncullan otonomi bagi suatu pemerintahan daerah. Desentralisasi sebenarnya adalah istilah dalam keorganisasian yang secara sederhana di definisikan sebagai penyerahan kewenangan. Dalam kaitannya dengan sistem pemerintahan Indonesia, desentralisasi akhir-akhir ini seringkali dikaitkan dengan sistem pemerintahan karena dengan adanya desentralisasi sekarang menyebabkan perubahan paradigma pemerintahan di Indonesia.Selain masyarakat pribumi yang dijadikan objek sentralisasi, masyarakat Jawa juga sebagai objek desentralisasi. (http://id.wikipedia.org/wiki/Desentralisasi)
Keinginan desentralisasi masyarakat Eropa menyebabkan adanya desentralisasi antara negara induk (Belanda) dengan Hindia Belanda, antara pemerintah Batavia dengan daerah, dan antara Belanda dengan pribumi.Dengan adanya keinginan desentralisasi tersebut maka memerlukan adanya daerah otonom. Salah satu dari akibat adanya desentralisasi yaitu Munculnya kebebasan yang semakin besar dari penguasa kolonial.

Rasanya aku menjadi pingsan. Membacai surat-surat resmi dengan bahasa yang dipergunakan begitu aneh.sedikit dari isinya dapat kupahami benar. Tak mengandung perasaan manusia- menganggap manusia sebagai inventaris. (Ananta Toer, 2009:186)

            Anggapan masyarakat Jawa sebagai inventaris adalah sesuatu hal yang dirasakan oleh masyarakat pribumi. Masyarakat Eropa menganggap masyarakat Jawa sebagai daftar masyarakat Jajahan untuk tujuan kekuasaan mereka. Dalam novel Bumi Manusia terlihat pada saat Nyai Ontosoroh yang membaca surat-surat resmi yang dipergunakan begitu aneh dengan bahasa yang sulit dipahaminya. Sedangkan munculnya kebebasan oleh penguasa kolonial Eropa terlihat pula pada novel Bumi Manusia, yaitu pada saat pasukan Mellema, orang-orang Eropa memasuki rumah besar Mard Wongs (masyarakat Pribumi) untuk minta penginapan. Kekuasaan itu dilawan oleh Mard Wong bahwa meskipun ancapan penembakan terhadap dirinya, Mard Wongs tetap melawan. Ia mengatakan bahwa apa lagi yang ingin diminta oleh bangsa kolonial, Eropa setelah mereka merampas hak milik dan merampas kebebasan.
            Erangan Mard Wong tidak digubris oleh masyarakat Eropa. Karena mereka benar-benar berkuasa.

...........pasukan Mellema, begitu tulis teman dari Nederland itu, memasuki rumah besar Mard Wongs minta penginapan. Orang tua yang serba putih itu bukan saja menolak, malah mereka mengusir mereka dengan garang. Mellema naik pitam, mengancam hendak menembak.
Mard Wongs meradang: Apa lagi kalian, Belanda kehendaki! Di Jawa hal milik kami kalian rampas, kebebasan kami kalian rampas, disini kalian mengemis minta naungan di bawah atapku.............(Ananta Toer, 2009:328)
            Kemudian di sisi lain, saat Ibunda Minke (Pribumi) yang mengatakan kepada diri Minke bahwa Belanda (bangsa Eropa) sangat berkuasa. Mereka merampas jirih payah Ibundanya selama lebih dari dua puluh tahun tanpa mengenal hari libur. Hanya untuk didasarkan pada keahlian juru tulis, dengan tinta hitam. Kekuasan memanfaatkan masyarakat pribumi inilah yang dinamakan dengan kekuasaan masyarakat Eropa.
Dalam mendengarkan itu terngiang-ngiang kata-kata Bunda: Belanda sangat, sangat berkuasa, namun tidak merampas istri-istri orang seperti Raja-Raja Jawa. Bunda? Tidak lain dari menantumu, istriku, kini terancam akan mereka rampas, merampas anak dari ibunya, istri dari suaminya, dan hendak merampas jirih payah Mama selama lebih dari duapuluh tahun tanpa mengenal hari libur. Semua hanya didasarkan pada surat-surat indah jurutulis-jurutulis ahli, dengan tinta hitam tak luntur yang menembus sampai setengah tebal kertas. (Ananta Toer, 2009:487)

b.             Masyarakat Jawa-Eropa: Sapaan (Etika Jawa)

Masyarakat luas memberi bermacam-macam tafsiran tentang etika. Begitu pula judul buku ini menimbulkan banyak pertanyaan. Di sini etika dilihat sebagai ilmu atau refleksi sistematik atas keseluruhan norma-norma dan penilaian-penilaian, yang digunakan oleh suatu masyarakat untuk mengetahui bagaimana manusia seharusnya menjalani kehidupannya. Maksud penggalian etika Jawa sebagai langkah maju ke arah penelitian filsafat timur. Kemudian diperkenalkan sekilas sejarah perkembangan masyarakat Jawa, yang melatarbelakangi perkembangan kebijaksanaan hidup Orang Jawa. Etika Jawa mencerminkan nilai-nilai manusiawi, yang pantas menjadi salah satu pedoman alternatif menghadapi tantangan modernisasi. Sebuah corak etika yang unik, berbeda dari etika barat (Eropa), karena memiliki gambaran yang khas tentang manusia, pribadi, masyarakat, serta alam semesta.
Dan aku ragu. Haruskah aku ulurkan tangan seperti pada wanita Eropa, atau aku hadapi dia sebagai wanita pribumi-jadi aku tidak harus peduli? Tapi dialah justru yang mengulurkan tangan. Aku terheran-heran dan kikuk menerima jabatannya. Ini bukan adat pribumi; Eropa!kalau begini caranya tentu aku akan mengulurkan tangan lebih dahulu. (Ananta Toer, 2009:33)

                Etika Wanita Eropa dalam sapaan adalah dengan menjabat tangan. Jabat tangan diartikan sebagai keakraban dan kebebasan mengungkapkan perasaan atau mengurangi kesenjangan kekuasaan. Dikatakan sebagai keakraban dan kebebasan mengungkapkan perasaan adalah dalam bentuk kehangatan, kedekatan, dan kesiapan untuk berkomunikasi. Tindakan-tindakan itu lebih menandai pendekatan daripada penghindaran dan kedekatan daripada jarak. Dalam konteks di atas dikatakan bahwa Minke, golongan masyarakat pribumi ragu untuk mengulurkan tangannya. Karena mungkin itu bukan budaya pribumi (Jawa). Tetapi hal tersebut telah dilakukan oleh Annelies yang notabene adalah keturunan Eropa dan sangat mengenal dengan proses sapaan melalui jabat tangan. Selain Jabat tangan dalam budaya Eropa telah dikatakan sebagai tindakan keakraban dan pengungkapan perasaan, jabat tangan juga dapat diartikan sebagai mengurangi kesenjangan sosial.
Kesenjangan sosial dikatakan sebagai dimensi fundamental dalam komunikasi.  jika dikatakan bahwa kesenjangan kekuasaan telah terukur dalam banyak budaya menggunakan Indeks Kesenjangan Kekuasaan. Yaitu budaya tersebut dengan nilai Indeks kesenjangan kekuasaan tinggi mem­punyai kekuasaan dan pengaruh yang lebih.
Kebudayaan yang sangat menjunjung tinggi kesenjangan kekuatan besar selalu menekankan nilai ketidakseimbangan atas status-status individu (Alo Liliweri, 2001).
Hal ini pula dilakukan oleh Annelies, tokoh masyarakat Eropa dalam novel Bumi Manusia. Annelies tidak menginginkan kesenjangan yang terjadi pada dirinya dan juga pada diri Minke sebagai masyarakat pribumi. Dia mengatakan bahwa jabat tangan adalah adat Eropa, bukan pribumi.

Nah, Kan benar?Agen itu sudah mulai kurang ajar menyilakan aku mencopot sepatu melepas kauskaki. Permulaan aniaya yang lebih hebat. Suatu kekuatan gaib telah memaksa aku mengikuti perintahnya. Lantai itu terasa dingin pada telapak kaki. Ia memberi isyarat, dan aku menaiki jenjang demi jenjang, melangkah ke atas. Ia tunjukkan padaku tempat aku harus duduk menekur di depan kursi goyang.....(Ananta Toer, 2009: 180)

Kemudian untuk adat pribumi sendiri telah dijelaskan di dalam Novel Bumi Manusia adalah dengan sungkem atau berlutut. Sunkem berlutut adalah salah satu ciri khas bangsa Indonesia. Sunkem artinya penghormatan sebagai bukti kesopanan dan nilai kebaikan. Dalam hal yang lain dikatakan bahwa Sungkem adalah mengandung lima unsur, yaitu 1) Mengucapkan selamat; 2) Menghaturkan syukur ataupun terima kasih kepada orang tua yang telah membesarkan dan memberikan nikmat, pituah, nasehat; 3) mengungkapkan rasa cinta ataupun sayang pada orang tua; 4) memohon maaf atas segala kesalahan ; dan 5) permintaan doa dan restu.
            Dalam Novel Bumi Manusia karya Pram, dijelaskan bahwa budaya sungkem adalah budaya pribumi. Minke menggerutu saat dirinya dipersilakan untuk mlepas sepatu dan kauskakinya. Minke sebagai siswa HBS yang telah lama mengenyam pendidikan masyarakat Eropa merasa aneh. Tetapi tanpa disadari dirinya sendiri seperti ada kekuatan gaib yang menyuruhnya taat pada adat itu, karena tentu saja sebab Minke adalah masyarakat pribumi. Hal tersebut ditambahi oleh perintah abdi keraton untuk menyuruh Minke berlutut. Sungkem dan berlutut adalah perintah yang diungkapkan kepada dirinya untuk menhadap ayahandanya.

Ya, Jalan berlutut, Ndoro Raden Mas, ”Agen itu seperti mengusir kerbau ke Kubangan (Ananta Toer, 2009:180)

c.             Tekanan Keberanian Masyarakat Pribumi karena Bangsa Eropa
                Nyai Ontosoroh mengatakan bahwa dirinya tidak pernah disekolahkan tetapi karena tekanan yang dialaminya saat dia merasa terjajah oleh masyarakat Eropa. Dia memberanikan diri untuk melawan Tuan Mellema dengan melakukan berbagai alasan bahwa karena orang Eropa itulah yang membuat Nyai Ontosoroh berpikir ke depan. Dia yang mengatur segalanya, ekonomi keluarganya. Hal ini menggambarkan bahwa ajaran yang diberikan masyarakat pribumi dari masyarakat Eropa hanya sia-sia belaka. Hanya untuk memanfaatkan dan memuaskan kehendak dan apa saja yang diinginkan mereka.
............itu yang dia kehendaki memang. Orang-orang Eropa sendiri yang mengajar aku berbuat begini , Minke, orang-orang Eropa sendiri.”suaranya minta kepercayaanku. ”Tidak disekolahkan, di dalam kehidupan ini. (Ananta Toer, 2009: 66)
Aku diam saja. Setiap patah dari kata-katanya kupakukan dalam ingatanku: tidak disekolahkan, di dalam kehidupan! Jangan anggap biadab!orang Eropa sendiri yang mengajar begini...(Ananta Toer, 2009:66)

            Nyai Ontosoroh mengatakan bahwa jangan anggap dirinya biadab karena telah berani membentak Tuan Mellema, tetapi itu hanyalah semata-mata karena apa yang telah diajarkan Masyarakat Eropa kepada dirinya (Pribumi) untuk menjajah dan memanfaatkan kaum yang tertindas.

d.             Malu: Masyarakat Jawa :Human Nature

                Human Nature didefinisikan sebagai  sifat ideal dalam diri manusia. Sering pula diartikan sifat dasar atau bagian penting dari diri manusia yang diyakini telah menetap dalam waktu yang cukup lama dan melalui beragam bentuk budaya. Pakar psikologi menetapkan bahwa  yang dimaksud human nature disini adalah suatu perilaku (behaviour) yang dianggap suatu kecenderungan yang kuat dalam diri semua manusia. Dengan kata lain,  bahwa yang dimaksud human nature bukan sesuatu yang bersifat memaksa, namun lebih kepada kecenderungan manusia untuk bisa melakukan perilaku tertentu. Sedangkan definisi Malu dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, adalah merasa sangat tidak senang, rendah, hina dan sebagainya karena berbuat sesuatu yang kurang baik, bercacat. Malu adalah sifat yang menunjukkan makna kesopanan. Stereotip orang Jawa bahwa mereka adalah suku bangsa yang sopan dan halus, membuat masyarakat jawa semakin terjajah.
(tafany.wordpress.com/2007/07/19/malu-sebagai-human-nature/)
               Novel Bumi Manusia dipaparkan dalam ujaran Nyai Ontosoroh bahwa masyarakat Eropa tidak memiliki rasa malu untuk melakukan penjajahan. Karena masyarakat Eropa hanya ingin sesuatu yang mereka impikan yaitu tanah jajahan/ rampasan dan lain sebagainya.

            Mereka tak kenal malu, Ma.”
Malu bukan urusan peradaban Eropa, ”mama membeliak padaku seperti memarahi. ”Kau yang selama ini sudah bergaul dengan mereka, bagaimana kau bisa bicara seperti itu? Kau Nak, Nyo, sebagai Pribumi, mestinya dan harusnya malu punya pikiran seperti itu. Jangan sekali-kali bicara soal malu tentang Eropa. Mereka hanya tahu mencapai maksud-maksudnya. Jangan kau lupa, Nak, Nyo.(Ananta Toer, 2009: 500)

               Minke mengatakan kepada Nyai Ontosoroh bahwa Masyarakat Eropa memang tak memiliki rasa malu. Malu bukan peradaban Eropa. Mereka hanya ingin mencapai maksudnya, yaitu tanah jajahan dan rampasan. Bentakan Nyai Ontosoroh membuat Minke tersadar dari ucapannya. Memang benar. Karena orang jawa memiliki kesopanan, halus dan rasa malu. Itulah yang membuat masyarakat Jawa terjajah dan masyarakat Eropa memanfaatkan kelemahan mereka.

SIMPULAN
               
                Simpulan bahwa Realisme-sosialis: kaum proletariat (masyarakat pribumi-eropa) novel bumi manusia karya Pramoedya Ananta Toer adalah terletak pada perbedaan tingkat pendidikan, yaitu Pram ingin menunjukkan bahwa masyarakat Eropa memguasai dan memanfaatkan masyarakat pribumi yang cerdas agar nantinya menjadi manusia yang takluk dan memiliki rasa kagum terhadap masyarakat Eropa. Sedangkan kekuasaan akibat adanya sentralisasi dan desentralisasi di Indonesia menjadikan masyarakat Eropa dengan leluasa melakukan penjajahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar