Jumat, 12 November 2010

NILAI BUDAYA TRADISI LISAN PARIKAN JAWA

Oleh
Yuneni Novikawati
072144043

BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Pada era globalisasi ini negara-negara maju sangat mudah sekali memengaruhi negara-negara berkembang dalam segala aspek kehidupan, karena mempunyai keunggulan teknologi. Masuknya teknologi dari negara maju ke negara berkembang ikut masuk kebudayaan ke negara maju tersebut yang sangat memengaruhi perilaku negara-negara berkembang. Dengan demikian bangsa Indonesia yang termasuk masyarakat Jawa mengalami pergeseran budaya. Kebergeseran budaya dengan teknologi membuat hilangnya keaslian budaya pada masyarakat. Budaya tersebut di dalamnya termasuk dalam budaya parikan yang sejak zaman dahulu menjadi salah satu budaya yang sama-sama dirasakan.
Saat dalam konteks Indonesia yang dijajah Belanda selama 350 tahun merupakan siasat Belanda dalam merebut kekayaan yang ada di dalam negara Indonesia termasuk yang di dalamnya mengandung nilai sejarah yang tinggi terhadap nilai luhur negara Indonesia. Bangsa Indonesia pada saat itu dibodohi dengan berbagai teknologi yang dibawa serta menjejalinya kepada bangsa Indonesia pribadi. Jika dilihat lebih lanjut, pada bangsa Jepang yang memiliki kebudayaan dan memegangnya secara erat meskipun teknologi pada bangsa tersebut sangat maju, namun dibalik itu semua yang menjadi pertanyaan bahwa mengapa bangsa Indonesia yang dinamakan negara maju sangat mudah sekali terpengaruh kepada budaya dan teknologi asing, sehingga kebudayaan sendiri tergeser bahkan tidak banyak yang diminati pada masyarakat sekarang.
Dijelaskan lebih lanjut, bahwa Parikan adalah bunyi yang terdiri atas dua ukara (bagian) yaitu untuk narik kawigaten, maksudnya adalah menarik perhatian dan yang kedua adalah minangka isi (yaitu sebagai isi). Parikan merupakan karya manusia yang seperti pantun tapi hanya terdiri dari dua larik. Parikan menggunakan purwakanthi swara yaitu dasar untuk menunjukkan perhitungan dalam wanda atau suku kata. (wikipedia: Parikan)
Parikan adalah bagian dari tradisi lisan, budaya lisan dan adat lisan yang didefinisikan sebagai adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasehat, balada, atau lagu.
Berdasarkan fenomena tersebut maka dengan judul Representasi Tradisi Lisan Parikan Jawa terhadap Nilai Budaya Masyarakat Jawa (Kajian Formula dalam Penceritaan Foklor dalam Teori Parry-Lord) menjadi penelitian yang menarik sehingga dapat diketahui formula struktur penceritaan yang ada di dalam pantun tersebut sehingga akan ditunjukkan bahwa di dalam parikan memiliki nilai moral yang harus tetap menjadi budaya masyarakat Jawa.


B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang ditemukan adalah
1. Bagaimana bentuk parikan yang harus diketahui oleh masyarakat Jawa sebagai wujud tradisi lisan terhadap nilai budaya masyarakat Jawa?
2. Bagaimana unsur formula yang ada di dalam parikan sebagai tradisi lisan terhadap nilai budaya masyarakat Jawa?
C. Tujuan
Penulisan ini bertujuan untuk,
1. Menghasilkan deskripsi tentang bentuk parikan yang harus diketahui oleh masyarakat Jawa sebagai wujud tradisi lisan terhadap nilai budaya masyarakat Jawa
2. Menghasilkan deskripsi tentang unsur formula yang ada di dalam parikan sebagai tradisi lisan terhadap nilai budaya masyarakat Jawa

D. Manfaat
a) Manfaat teoretis
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi ilmu sosial dan linguistik

Manfaat praktis
Secara praktis, penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi semua kalangan, diantaranya:
a. Bagi peneliti foklor, hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan literatur tambahan dalam penelitian wacana.
b. Bagi guru bahasa dan sastra Indonesia, hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan tambahan wawasan mengenai budaya lisan yang terdapat di dalam masyarakat.
c. Bagi masyarakat secara umum, hasil penelitian ini dapat sebagai pencerahan bahwa begitu pentingnya mempertahankan buda masyarakat jawa Timur, khususnya tradisi lisan bentk Parikan

BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Penelitian Terdahulu
1. Analisis Struktural Cerita Tundung Madiun dai Ketoprak Mataram sera Sumbangannya terhadap Pendidikan dan Kesusasratraan di Indonesia oleh Retno Banowati pada tahun 1991
2. Cerita Ludruk ’Sarip ambak Yoso’ dan Sumbangannya teradap perkembangan sastra serta pendidikan di Indonesia oleh Endag Sulastri tahun 1991

B. Teori Yang Digunakan
Komposisi teori Tukang cerita/pencerita dalam menuturkan ceritanya tidak pernah penuh-penuh terikat pada teks mula yang pernah didengarnya. Bagian yang tetap adalah inti cerita, sedangkan selebihnya tidak pernah tetap (Lord, 1976:99). Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Sweeney (dalam Teeuw, 1984:301) bahwa setiap pementasan atau penuturan merupakan parafrasis naskah induk yang imajiner.
Lord dalam Sudikan (2001: 80) merumuskan dalam bukunya The Singer o Tales yang membahas tentang lima hal yaitu: (1) hubungan antara menciptakan, menyanyikan, dan memertunjukkan, (2) formula, (3) tema, (4) teks asli, (5) hubungan antara versi tertulis dan lisan.
Formula oleh Lord dalam Sudikan (2001: 80) dikatakan ialah kata yang secara teratur dimanfaatkan oleh mantra yang sama untuk mengungkapkan satu ide hakiki. Dengan penyusunan baris dengan pola formula itu terjadi proses penggantian, kombinasi, pembentukan model, dan penambahan kata atau ungkapan baru pada formula sesuai dengan kebutuhan.
Berdasarkan temuan di atas, maka penelitian ini sejalan dengan konsep rumusan atau simpulan yang diungkap oleh Nani tuloli dalam Sudikan (2001:80) menyatakan bahwa formula ialah unsur linguistik (afiks, kata, frasa, klausa, baris, dan struktur) yang dipakai dalam pola sintaksis dan ritme tertentu serta posisi tertentu. Pola formula ialah pola baris yang mengikuti sistem sintaksis dan ritme tertentu yang dipakai untuk menciptakan baris formulaik yang salah satu unsurnya adalah sama.
Dengan demikian, maka disimpulkan bahwa penelitian ini menggunakan teori Lord mengenai formula yang ada di dalam parikan dengan mengungkapkan bentuk (dalam hal ini) di ungkap tentang sampiran dan isi yang terkandung di dalam parikan (pantun Jawa).

C. Parikan (Pantun)
Definisi parikan ialah tradisi lisan, budaya lisan dan adat lisan adalah pesan atau kesaksian yang disampaikan secara turun-temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Pesan atau kesaksian itu disampaikan melalui ucapan, pidato, nyanyian, dan dapat berbentuk pantun, cerita rakyat, nasehat, balada, atau lagu. Pada cara ini, maka mungkinlah suatu masyarakat dapat menyampaikan sejarah lisan, sastra lisan, hukum lisan dan pengetahuan lainnya ke generasi penerusnya tanpa melibatkan bahasa tulisan. (http://id.wikipedia.org/wiki/Tradisi_lisan)
Definisi lain, Parikan iku unen-unen kang dumadi seka rong (2) ukara. Ukara sepisanan kanggo narik kawigaten, kang kapindho minangka isi. Parikan iki kaya pantun nanging mung rong larik. Parikan migunaake purwakanthi swara. Purwakanthi parikan bisa digawe mawa petungan kang adhedhasar petungan wanda (suku kata). http://jv.wikipedia.org/wiki/Parikan
Parikan adalah bunyi yang pada bagian pertama sebagai sampiran atau penentu suara, kedua adalah berupa isi. Diungkap dalam bahasa Jawa,
Parikan yaiku ‘unen – unen rong perangan perangan (bagian) kapisan kanggo pancandan (sampiran) (kanggo pentokaning swara), dene perangan kapindho mawa teges (merupakan isi) kang dikarepake.’
Parikan adalah bunyi yang terdiri atas dua bentuk yang pertama untuk menarik perhatian yang berupa sampiran dan yang kedua berupa isi.
Parikan yaiku unen-unen kang dumadi seka rong (2) ukara. Ukara sepisanan kanggo narik kawigaten, kang kapindho minangka isi. Parikan iki kaya pantun nanging mung rong larik. Parikan migunaake purwakanthi swara. Purwakanthi parikan bisa digawe mawa petungan kang adhedhasar petungan wanda (suku kata). http://jv.wikipedia.org/wiki/Parikan
Peran pantun (parikan) sebagai alat pemelihara bahasa, pantun berperan sebagai penjaga fungsi kata dan kemampuan menjaga alur berfikir. Pantun melatih seseorang berfikir tentang makna kata sebelum berujar. Ia juga melatih orang berfikir asosiatif, bahwa suatu kata bisa memiliki kaitan dengan kata yang lain. Secara sosial pantun memiliki fungsi pergaulan yang kuat, bahkan hingga sekarang. Di kalangan pemuda sekarang eharusnya, kemampuan berpantun biasanya dihargai. Pantun menunjukkan kecepatan seseorang dalam berfikir dan bermain-main dengan kata.
Parikan ada dua warna, (dua jenis) yaitu
1. Terdiri atas 2 kalimat yang bersajak.
2. Saben saukara kedadean saka rong gatra (larik). Dalam hal ini adalah bentuk parikan panjang
3. Ukara pertama berupa purwaka (sampiran), ukara kedua berupa uwose (isi)

D. Nilai Moral Masyarakat Jawa
Suku Jawa merupakan suku bangsa terbesar di Indonesia yang berasal dari Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Yogyakarta. Setidaknya 41,7% penduduk Indonesia merupakan etnis Jawa. [1] Selain di ketiga propinsi tersebut, suku Jawa banyak bermukim di Lampung, Banten, Jakarta, dan Sumatera Utara. Di Jawa Barat mereka banyak ditemukan di Kabupaten Indramayu dan Cirebon. Suku Jawa juga memiliki sub-suku, seperti Osing dan Tengger. http://id.wikipedia.org/wiki/Suku_Jawa
Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat. Suku bangsa Jawa sebagian besar menggunakan bahasa Jawa dalam bertutur sehari-hari. Dalam sebuah survei yang diadakan majalah Tempo pada awal dasawarsa 1990-an, kurang lebih hanya 12% orang Jawa yang menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa mereka sehari-hari, sekitar 18% menggunakan bahasa Jawa dan Indonesia secara campur, dan selebihnya hanya menggunakan bahasa Jawa saja.
Bahasa Jawa memiliki aturan perbedaan kosa kata dan intonasi berdasarkan hubungan antara pembicara dan lawan bicara, yang dikenal dengan unggah-ungguh. Aspek kebahasaan ini memiliki pengaruh sosial yang kuat dalam budaya Jawa, dan membuat orang Jawa biasanya sangat sadar akan status sosialnya di masyarakat.


BAB III METODE PENELITIAN

A. Jenis Pendekatan Penelitian
Penelitian ini dirancang secara kualitatif deskriptif yaitu memperoleh gambaran secara nyata terhadap parikan Jawa yang terdapat pada media televisi dan radio. Metode kualitatif memberikan perhatian terhadap data alamiah, data yang berhubungan dengan konteks keberadaannya. Sedangkan data tersebut dianalisis berdasarkan bentuk yang sebenarnya tanpa melepaskan konteks data yang melingkupinya. Dengan metode kualitatif ini, mengenai formula yang ada di dalam parikan atau pantun jawa dapat diungkap dengan baik. Sehingga diharapkan dapat menjadi pemaparan dan nilai budaya masyarakat Jawa.

B. Sumber Data dan Data Penelitian
Sumber data penelitian ini adalah data tertulis yang memuat informasi jenis Parikan dan kajian formula yang terdapat dalam parikan tersebut. Sedangkan data penelitian ini berupa ‘ukara’ atau bentuk yang terdapat pada bunyi parikan.

C. Latar Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Juli-Agustus 2010
Lokasi observasi penelitian ini adalah pada media RRI yang terdapat di kota Surabaya

D. Metode dan Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan data primer pada parikan Jawa yang terdapat pada media elektronik baik televisi maupun radio. Bentuk data yang diambil berupa sampiran dan isi
Berdasarkan langkah awal dalam metode analisis data di atas dilakukan maka untuk teknik pengumpulan data penelitian ini adalah melalui teknik sebagai berikut:
1. Rekam
Teknik rekam ini dilakukan dengan cara meletakkan alat perekam di samping televisi dan Radio saat iklan diputar. Biasanya melalui program televisi lokal yaitu JTV, dan Radio Republik Indonesia
2. Simak
Selain teknik rekam perlu adanya teknik simak. Teknik ini dilakukan untuk memperkuat perekaman dan beberapa iklan lain yang telah terambil datanya.
3. Observasi
Penentuan 3 informan untuk observasi agar sebagai bentuk peyakinan terhadap data tersebut
Dengan menggunakan daftar tanyaan sbb:
a. Apakah Bapak mengenal banyak tentang Pantun-pantun dalam bahasa Jawa?
b. Apa saja pantun Jawa itu?
c. Jenis Pantun Bahasa Jawa adalah?
d. Bagaimana asal-usul cerita parikan tersebut?

4. Koleksi
Observasi yang dilakukan dalam pengoleksian data yaitu dengan mencari literatur sebanyak-banyaknya mengenai fenomena yang ada dengan keterkaitan antara topik yang dibahas dalam parikan Jawa. Pengkoleksian melalui langkah ini sangat diperluka untuk menjaga kesimpang siura informasi yang di dapat dalam Parikan Jawa. Setelah langkah pengoleksian pertama maka langkah selanjutnya dalam pengoleksian adalah pemilahan dalam informasi atau data yang terkandung dalam sampiran dan isi
5. Reduksi data
Pereduksian pada langkah ini dengan menggunakan Kartu Data, yaitu Instrumen yang dimaksud dalam penelitian ini adalah alat dan fasilitas yang digunakan peneliti untuk mempermudah jalannya penelitian dan hasil yang diperoleh lebih lengkap. Bentuk instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kartu data yang berisi data-data yang diisi sesuai dengan korpus data yang diperoleh dari masing-masing buletin. Langkah pertama dalam penggunaan kartu data adalah memilih data yang memiliki perbedaan dan kesamaan antara buletin satu dengan buletin yang lain, atau setelah terjadi pembedaan maka dilanjutkan dengan buletin satu dengan buletin berikutnya. Pembedaan dan proses pemutaran pada buletin agar dapat teranalisis dengan baik maka dilakukan tersebut dinamakan sistem putar. Sistem putar tersebut berkenaan dengan paragraf, sampiran dan isi dalam parikan Jawa
6. Klasifikasi data
Pengklasifikasian pada data yang telah diperoleh dan dimasukkan ke dalam kartu data, maka untuk mempermuda kartu tersebut dibedakan dalam warna kartu yang berbeda.

D. Teknik Analisis Data

Berdasarkan masalah yang telah dirumuskan, maka Penelitian ini dianalisis dengan
1. Teknik pilah kartu data
Kartu data ke dua setelah kartu data pertama sebagai penyediaan data. Pada kartu data analisis ini adalah dengan memisahkan dan menentukan data mana saja yang layak diteliti yaitu pada paragraf, sampiran dan isi parikan Jawa. Data yang telah diperoleh kemudian akan dikelompokkan dan dihitung dalam masing-masing sampiran dan isi pada parikan Jawa
2. Teknik pilah pembeda larik
Membedakan hasil pilah pada teknik pertama dengan pemilahan pada buletin selanjutnya. Penelitian ini tidak hanya meneliti pada satu buletin saja melainkan berjumlah sepuluh buletin yang disesuaikan dengan urutan penerbitan.

Transformasi Keteladanan Pengabdian Priai Jawa

Pendahuluan
Novel, sebagai salah satu genre sastra, digunakan oleh Umar Kayam untuk merasakan dan menafsirkan kembali hidup dan kehidupan (Kayam dalam Rahmanto, 2004: vii)
Selalu saja setiap pengarang memiliki maksud. Pengarang bebas mengapresiasi karyanya dari proses kehidupannya untuk menunjukkan kepada masyarakat tentang hidup dan kehidupan. Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi pengarang. Melalui Novel para Priyayi (yang selanjutnya disingkat novel PP) inilah Umar Kayam ingin menunjukkan kepada pembaca mengenai makna kehidupan seorang priai.
Sesungguhnya penelitian novel PP sudah banyak diteliti oleh banyak orang, baik dalam makalah, skipsi, tesis, maupun penelitian yang lain. Diantara beberapa penelitian yang dilakukan banyak orang, tokoh besar, novel PP yang pernah diteliti oleh Daniel Dhakie (1992 dan 1998), Sapardi Djoko Damono (1992 dan 1998), Mochtar Pabottingi (1992) yang kesemuanya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengapresiasinya. Maka selanjutnya akan diulas sedikit mengenai beberapa analisis yang mereka tampilkan.
Di dalam buku Rahmanto dijelaskan bahwa menurut Daniel Dhakie (kompas dalam Rahmanto 2004:63) khususnya yang berkaitan dengan cara penyajian karyanya, Umar Kayam sendiri menurutnya mengalami suasana yang serba mendua dalam penulisannya, disisi lain Dhakie menunjukkan keraguan dalam kata bantu dalam dua jenis sejak awal. Jenis pertama seperti konon, mugkin, menurut cerita, alkisah, dsb. Sedangkan Damono (Tempo dalam Rahmanto, 2004: 640) dalam melihat adanya ketegangan kreatif antara kepakaran ilmu sosial dan imajinasi sebagai sastrawan pada novel PP. dan beberapa peneliti yang lain. Damono menambahkan bahwa sebenarnya Umar Kayam menulis buku sosiologi Jawa dalam bentuk fiksi. Sebab, dengan menulis fiksi, ia bebas mengembangkan teori sosiologinya. Sedangkan Pabottingi yang menekankan bahwa Umar Kayam berhasil membuktikan bahwa sastra mampu menangkap kehidupan secara utuh, dapat mengungguli Karya Ilmiah, meskipun karya Ilmiah memiliki nilai plus tersendiri.
Beberapa pendapat di atas digunakan sebagai masukan dan wawasan bahwa sebenarnya banyak sekali penelitian atau berupa pengamatan pada novel PP. oleh karena itu, maka artikel ini akan disinggung mengenai Transformasi Keteladanan Pengabdian priai.
Aspek keteladanan pengabdian priai Jawa dalam novel PP sangat kental. Dari cerita dari penelusuran segi makna kehidupan yang diulas, seketika muncul ini sesungguhnya teladan yang harus di transformasikan kepada para kaum priyayi yang ada pada masyarakat.
Aspek keteladanan pengabdian tersebut muncul dalam tokoh-tokoh seperti Sastodarsono, Noegroho, Hardojo, dan Lantip. Yang diulas dalam novel PP ini, bukanlah sosok priai pada umumnya, seperti priai yang kini memiliki jabatan tinggi, orang kaya atau orang yang terpandang karena keturunan priai pula, namun priyayi disini adalah priyayi yang datang dari kalangan rendah yakni orang-orang yang ingin menjadi priyayi namun berjuang melalui proses pengabdian. Priai dalam novel PP adalah priai yang terpandang karena kemampuannya menjadi seorang guru atau karena memiliki kesederhanaan. Oleh karena itu untuk pembahasannya akan dikaji melalui pendekatan Hermeneutik.
Menurut Yuwono (2007: 62) dalam Paul Recoeur mengatakan bahwa strategi terbaik dalam mengkaji teks falsafah dan sastra adalah mengkaji menggunakan strategi hermeneutik. Di pihak lain Gadamer dalam Yuwono (2007:64) menjelaskan bahwa hermeneutika :1) menerangkan bagaimana sesuatu yang ada dalam teks dapat menyatu dengan pemahaman kita, yang caranya adalah ditempuh dengan prasangka; 2) penggunaan kaidah hermeneutika memungkinkan kita melihat pengetahuan dan objek pengetahuan berubah atau mengalami transformasi, 3) dalam menafsir sebuah karya seni tidak diragukan bahwa kita juga menciptakan sebuah hubungan karya seni. Cara menciptakan hubungan itu dilakukan dengan menukar dunia yang akrab dengan dunia yang disajikan oleh karya yang kita kaji.
Pembahasan : Transformasi Keteladanan Pengabdian Priayi
Sebelumnya, konsep pengabdian priyayi pada masyarakat luas dalam masyarakat Jawa adalah suatu latihan yang berupa mengabdikan diri di rumah seorang priyayi terkemuka (Rahmanto, 2004:91).
Transformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi) atau perpindahan.
Dalam novel PP, pengabdian seorang priyayi secara tersirat dipaparkan melalui nama Soedarsono yang diberikan oleh Ndoro Sten dianggap sebagai nama yang terlalu berat. Padahal Ndoro Seten memberikan nama itu karena keluarga Atmokasan (Petani desa) telah akrab dengan Ndoro Sten. Embok merasa takut dan bimbang. Nama yang berat hanya diperuntukkan oleh masyarakat Priyayi saja. Hal ini dapat ditransformasikan dengan melihat orang-orang desa pada umumnya pada zaman dahulu menamakan anak-anak mereka dengan nama desa. Mereka juga menganggap bahwa kedudukan mereka sebaga petani desa hanya seimbang dengan nama yang biasa pula. Ketakutan mereka terhadap nama itu sama dengan ketakutan yang embok rasakan. Yaitu kekhawatiran yang terlalu berat namanya terhadap takdir umur yang pendek.
……..menurut Embok sesungguhnya ia ingin memberi nama Islam (meskipun kami tidak sembahyang) seperti Ngali atau Ngusman. Bukankah nama Bapak saya juga Kasan? Tetapi Bapak saya, meyakinkan Embok untuk menerima saja pemberian nama itu. Embok masih bimbang, takut jangan-jangan nama ini nama yang terlalu berat untuk bayi seorang anak desa. Jangan-jangan jadi pendek umur anak itu nanti, begitu kekhawatiran Embok. Tetapi, Bapak terus membujuk dan menyakinkan Embok bahwa tidak usah khawatir untuk mengalami bencana itu. “Wong Paringan, hadiah dari priayi kok dikhawatirkan, “tutur Bapak. “Mestinya baik, “tandas Bapak lagi (Kayam, 1992:31).

Namun Akhirnya, berkat pengabdian Atmokasan pada Ndoro Seten Kedungsimo juga memiliki arti penting yang diterimanya Soedarsono di sekolah desa sehingga ia berhasil lulus dan dapat diterima sebagai seorang guru bantu. Soedarsono memang tidak mengabdikan dirinya secara langsung kepada Ndoro Seten Kedungsimo, tetapi pengabdian sebenarnya dapat dipandang sebagai penggantinya.
Le, bapakmu ini wong tani ndeso. Jadi, saya melihat persoalanmu ya seperti seorang tani melihat persoalan. Kita ini semua rak sesungguhnya wong cilik saja to, le. Wong cilik yang diperintah gupermen. Lha sebagai wong cilik ya semestinya manut, menurut aturan gupermen begitu. Kalau tidak manut itu rak salah to, Le. Kalau menurut aturan gupermen yang dikerjakan mantri gurumu itu salah, ya salah, Le. Lha, kalau menurut gupermen kamu diperintahkan mengganti dia, ya kamu harus terima, Le. Mosok kamu mau menolak apalagi melawan? tapi, ini pendapat bapakmu wong tani wutun, jekek, asli, murni lho, Le. Cobalah kalau kamu sowan Ndoro Seten, wah saya belum bisa memanggil beliau dengan kamas itu, le, kamu minta pendapat beliau. Eh, lha mertuamu bagaimana pendapatnya” (Kayam, 1992:61)

Masyarakat Jawa pada saat itu telah mengalami suatu perubahan. Pada awal abad ke-20, Belanda telah berhasil membuat Hindia-Belanda menjadi suatu Negara yang apolitik (tidak berminat pada politik), yang mengandalkan dinamikanya birokrasi (system pemerintah yang dijalanka pegawai pemerintah karena berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan) (Kayam, 1989:14). Di Jawa pada saat itu telah berkembang suatu elite birokrasi yang disebut priai yang berasal dari kelompok keturunan bangsawan maupun keturunan orang biasa yang beruntung mendapat pendidikan sekolah desa. Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Kayam (1989:20-21) ada diantara kelompok ini yang memiliki idealism yang membuka perspektif sebagai priai yang berpikiran maju dengan mendirikan perkumpulan Budi Utomo yang dipelopori oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Penutup
Maka Transformasi Keteladanan Pengabdian Priai Jawa terhadap Novel PP sangat kental. Antara kehidupan nyata pada masa pembuatan novel PP menjadi relasi antara Pengabdian Priai Jawa dan Petani desa.