Jumat, 12 November 2010

Transformasi Keteladanan Pengabdian Priai Jawa

Pendahuluan
Novel, sebagai salah satu genre sastra, digunakan oleh Umar Kayam untuk merasakan dan menafsirkan kembali hidup dan kehidupan (Kayam dalam Rahmanto, 2004: vii)
Selalu saja setiap pengarang memiliki maksud. Pengarang bebas mengapresiasi karyanya dari proses kehidupannya untuk menunjukkan kepada masyarakat tentang hidup dan kehidupan. Karya sastra diciptakan berdasarkan imajinasi pengarang. Melalui Novel para Priyayi (yang selanjutnya disingkat novel PP) inilah Umar Kayam ingin menunjukkan kepada pembaca mengenai makna kehidupan seorang priai.
Sesungguhnya penelitian novel PP sudah banyak diteliti oleh banyak orang, baik dalam makalah, skipsi, tesis, maupun penelitian yang lain. Diantara beberapa penelitian yang dilakukan banyak orang, tokoh besar, novel PP yang pernah diteliti oleh Daniel Dhakie (1992 dan 1998), Sapardi Djoko Damono (1992 dan 1998), Mochtar Pabottingi (1992) yang kesemuanya memiliki sudut pandang yang berbeda dalam mengapresiasinya. Maka selanjutnya akan diulas sedikit mengenai beberapa analisis yang mereka tampilkan.
Di dalam buku Rahmanto dijelaskan bahwa menurut Daniel Dhakie (kompas dalam Rahmanto 2004:63) khususnya yang berkaitan dengan cara penyajian karyanya, Umar Kayam sendiri menurutnya mengalami suasana yang serba mendua dalam penulisannya, disisi lain Dhakie menunjukkan keraguan dalam kata bantu dalam dua jenis sejak awal. Jenis pertama seperti konon, mugkin, menurut cerita, alkisah, dsb. Sedangkan Damono (Tempo dalam Rahmanto, 2004: 640) dalam melihat adanya ketegangan kreatif antara kepakaran ilmu sosial dan imajinasi sebagai sastrawan pada novel PP. dan beberapa peneliti yang lain. Damono menambahkan bahwa sebenarnya Umar Kayam menulis buku sosiologi Jawa dalam bentuk fiksi. Sebab, dengan menulis fiksi, ia bebas mengembangkan teori sosiologinya. Sedangkan Pabottingi yang menekankan bahwa Umar Kayam berhasil membuktikan bahwa sastra mampu menangkap kehidupan secara utuh, dapat mengungguli Karya Ilmiah, meskipun karya Ilmiah memiliki nilai plus tersendiri.
Beberapa pendapat di atas digunakan sebagai masukan dan wawasan bahwa sebenarnya banyak sekali penelitian atau berupa pengamatan pada novel PP. oleh karena itu, maka artikel ini akan disinggung mengenai Transformasi Keteladanan Pengabdian priai.
Aspek keteladanan pengabdian priai Jawa dalam novel PP sangat kental. Dari cerita dari penelusuran segi makna kehidupan yang diulas, seketika muncul ini sesungguhnya teladan yang harus di transformasikan kepada para kaum priyayi yang ada pada masyarakat.
Aspek keteladanan pengabdian tersebut muncul dalam tokoh-tokoh seperti Sastodarsono, Noegroho, Hardojo, dan Lantip. Yang diulas dalam novel PP ini, bukanlah sosok priai pada umumnya, seperti priai yang kini memiliki jabatan tinggi, orang kaya atau orang yang terpandang karena keturunan priai pula, namun priyayi disini adalah priyayi yang datang dari kalangan rendah yakni orang-orang yang ingin menjadi priyayi namun berjuang melalui proses pengabdian. Priai dalam novel PP adalah priai yang terpandang karena kemampuannya menjadi seorang guru atau karena memiliki kesederhanaan. Oleh karena itu untuk pembahasannya akan dikaji melalui pendekatan Hermeneutik.
Menurut Yuwono (2007: 62) dalam Paul Recoeur mengatakan bahwa strategi terbaik dalam mengkaji teks falsafah dan sastra adalah mengkaji menggunakan strategi hermeneutik. Di pihak lain Gadamer dalam Yuwono (2007:64) menjelaskan bahwa hermeneutika :1) menerangkan bagaimana sesuatu yang ada dalam teks dapat menyatu dengan pemahaman kita, yang caranya adalah ditempuh dengan prasangka; 2) penggunaan kaidah hermeneutika memungkinkan kita melihat pengetahuan dan objek pengetahuan berubah atau mengalami transformasi, 3) dalam menafsir sebuah karya seni tidak diragukan bahwa kita juga menciptakan sebuah hubungan karya seni. Cara menciptakan hubungan itu dilakukan dengan menukar dunia yang akrab dengan dunia yang disajikan oleh karya yang kita kaji.
Pembahasan : Transformasi Keteladanan Pengabdian Priayi
Sebelumnya, konsep pengabdian priyayi pada masyarakat luas dalam masyarakat Jawa adalah suatu latihan yang berupa mengabdikan diri di rumah seorang priyayi terkemuka (Rahmanto, 2004:91).
Transformasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah perubahan rupa (bentuk, sifat, fungsi) atau perpindahan.
Dalam novel PP, pengabdian seorang priyayi secara tersirat dipaparkan melalui nama Soedarsono yang diberikan oleh Ndoro Sten dianggap sebagai nama yang terlalu berat. Padahal Ndoro Seten memberikan nama itu karena keluarga Atmokasan (Petani desa) telah akrab dengan Ndoro Sten. Embok merasa takut dan bimbang. Nama yang berat hanya diperuntukkan oleh masyarakat Priyayi saja. Hal ini dapat ditransformasikan dengan melihat orang-orang desa pada umumnya pada zaman dahulu menamakan anak-anak mereka dengan nama desa. Mereka juga menganggap bahwa kedudukan mereka sebaga petani desa hanya seimbang dengan nama yang biasa pula. Ketakutan mereka terhadap nama itu sama dengan ketakutan yang embok rasakan. Yaitu kekhawatiran yang terlalu berat namanya terhadap takdir umur yang pendek.
……..menurut Embok sesungguhnya ia ingin memberi nama Islam (meskipun kami tidak sembahyang) seperti Ngali atau Ngusman. Bukankah nama Bapak saya juga Kasan? Tetapi Bapak saya, meyakinkan Embok untuk menerima saja pemberian nama itu. Embok masih bimbang, takut jangan-jangan nama ini nama yang terlalu berat untuk bayi seorang anak desa. Jangan-jangan jadi pendek umur anak itu nanti, begitu kekhawatiran Embok. Tetapi, Bapak terus membujuk dan menyakinkan Embok bahwa tidak usah khawatir untuk mengalami bencana itu. “Wong Paringan, hadiah dari priayi kok dikhawatirkan, “tutur Bapak. “Mestinya baik, “tandas Bapak lagi (Kayam, 1992:31).

Namun Akhirnya, berkat pengabdian Atmokasan pada Ndoro Seten Kedungsimo juga memiliki arti penting yang diterimanya Soedarsono di sekolah desa sehingga ia berhasil lulus dan dapat diterima sebagai seorang guru bantu. Soedarsono memang tidak mengabdikan dirinya secara langsung kepada Ndoro Seten Kedungsimo, tetapi pengabdian sebenarnya dapat dipandang sebagai penggantinya.
Le, bapakmu ini wong tani ndeso. Jadi, saya melihat persoalanmu ya seperti seorang tani melihat persoalan. Kita ini semua rak sesungguhnya wong cilik saja to, le. Wong cilik yang diperintah gupermen. Lha sebagai wong cilik ya semestinya manut, menurut aturan gupermen begitu. Kalau tidak manut itu rak salah to, Le. Kalau menurut aturan gupermen yang dikerjakan mantri gurumu itu salah, ya salah, Le. Lha, kalau menurut gupermen kamu diperintahkan mengganti dia, ya kamu harus terima, Le. Mosok kamu mau menolak apalagi melawan? tapi, ini pendapat bapakmu wong tani wutun, jekek, asli, murni lho, Le. Cobalah kalau kamu sowan Ndoro Seten, wah saya belum bisa memanggil beliau dengan kamas itu, le, kamu minta pendapat beliau. Eh, lha mertuamu bagaimana pendapatnya” (Kayam, 1992:61)

Masyarakat Jawa pada saat itu telah mengalami suatu perubahan. Pada awal abad ke-20, Belanda telah berhasil membuat Hindia-Belanda menjadi suatu Negara yang apolitik (tidak berminat pada politik), yang mengandalkan dinamikanya birokrasi (system pemerintah yang dijalanka pegawai pemerintah karena berpegang pada hierarki dan jenjang jabatan) (Kayam, 1989:14). Di Jawa pada saat itu telah berkembang suatu elite birokrasi yang disebut priai yang berasal dari kelompok keturunan bangsawan maupun keturunan orang biasa yang beruntung mendapat pendidikan sekolah desa. Dalam perkembangan selanjutnya, menurut Kayam (1989:20-21) ada diantara kelompok ini yang memiliki idealism yang membuka perspektif sebagai priai yang berpikiran maju dengan mendirikan perkumpulan Budi Utomo yang dipelopori oleh dr. Wahidin Soedirohoesodo.
Penutup
Maka Transformasi Keteladanan Pengabdian Priai Jawa terhadap Novel PP sangat kental. Antara kehidupan nyata pada masa pembuatan novel PP menjadi relasi antara Pengabdian Priai Jawa dan Petani desa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar