Rabu, 14 Juli 2010

ADAT DAN KARISMA ARISTOKRATIK DALAM KEBANGSAWANAN BALI DALAM NOVEL KENANGA KARYA OKA RUSMINI (MEMAHAMI KEBUDAYAAN DAN KEPRIBADIAN MASYARAKAT BALI: PENDEKATAN HERMENEUTIK)

1.1 Latar Belakang
Berawal dari membaca novel Kenanga karya Oka Rusmini yang merupakan karya yang mengandung nilai ajaran. Masyarakat memiliki andil besar dalam membentuk dan memberi nilai terhadap karya sastra yang dilahirkannya. Pada akhirnya, dikatakan bahwa kehadiran karya sastra merupakan cermin dari masyarakat. Karya sastra tidak terlepas dari kekosongan budaya. seperti apa yang diungkap Damono dan Kresteva (dalam Kurniawan, kritiksastra.blogspot.com), ”Karya sastra tidak pernah hadir tanpa kekosongan budaya.” Budaya-budaya dari masyarakat yang diterapkan kemudian dimunculkan pengarang. Penggambaran seperti inilah yang sering sekali dimunculkan pada setiap teks sastra.
Seperti yang dipahami setelah membaca karya sastra yang berjudul kenanga ini bahwa bentuk penggambaran masyarakat Bali yang memiliki bermacam-macam aturan di dalam kebudayaan Bali itu sendiri, yang kebudayaan tersebut seringkali dimunculkan dalam bentuk-bentuk aturan yang biasa disebut dengan adat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2002:6) bahwa adat didefinisikan sebagai aturan, yang lazim diturut atau dilakukan sejak dahulu kala, yang hal tersebut menjadi kebiasaan. Wujud-wujud gagasan kebudayaan tersebut terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan satu dengan lainnya yang berkaitan dalam satu sistem.
Sebuah adat menjadi karakter dari suatu bangsa, karena adat pula yang membuat suatu wilayah atau daerah memiliki kekhasan. Kekuatan terhadap keteguhan mempertahankan adat istiadat memberi ketertarikan dari bangsa lain. Darmalaksana (2009:62) menjelaskan bahwa kenyataan bahwa orang Bali masih kuat berpegang pada adat istiadat dan kepercayaannya.
Prinsip perbedaan antara kelas atas dan kelas bawah, dan pengaruh antara kelas atas (aristokrat) terhadap sikap dan perilaku memberi pandangan lebih terhadap novel Kenangan karya Oka Rusmini ini. Keterikatan yang erat antara adat dan kharisma kebangsawanan memberi pengaruh kuat terhadap novel kenanga karya Oka Rusmini ini. Disimpulkan lebih lanjut apabila adat memiliki kaitan erat dengan karisma. Maka karisma muncul untuk menyempurnakan karakter dari masyarakat Bali.
Antropologi sastra yaitu studi mengenai karya sastra dengan relevansi manusia Ratna (dalam Sudikan, 2007:1). Antropologi sastra memberikan perhatian pada manusia sebagai agen kultural, sistem kekerabatan, sistem mitos, dan kebiasaan-kebiasaan lainnya. (Sudikan, 2007:1). Antropologi mengajarkan secara nyata tentang beberapa hal yang di dasarkan pada realita, bahwa antropologi adalah bagian yang secara ringan dikemas untuk menganalisis sesuatu bentuk secara nyata. Anas Ahmadi (dalam kajian mata kuliah Kajian Budaya, 9 April 2010, at 07.00) mengatakan bahwa antropologi adalah tingkatan mendasar dalam menganalisis budaya. Karena budaya yang secara nyata terlihat dpandang lebih mudah daripada psikologi ataupun filsafat.
Di pihak lain, Endraswara (dalam Sudikan, 2007:1) mengatakan bahwa penelitian antropologi sastra merupakan celah baru dalam penelitian sastra. Penelitian yang mencoba memadukan dua disiplin ilmu yang tampaknya masih jarang diminati. Karena sesungguhnya banyak hal yang menarik yang dapat digali dalam model penelitian ini. Maksudnya adalah peneliti sastra dapat mengungkap berbagai hal yang berhubungan dengan kiasan-kiasan antropologis. Sebagian besar data yang diperoleh untuk mencatat sebagian besar penelitian melalui kajian antropologi sangat jarang diminati. Terdapat sedikit yang meneliti, namun ketelitian bukan terletak pada penelitian sastra yang terdapat pada sebuah karya sastra, namun berupa realita hidup yang terdapat di dalam masyarakat.
Karya sastra selain mengandung data sosiologis, sekaligus mengandung data antropologis. Aspek sosial dalam karya sastra tersebut meliputi struktur sosial, identitas sosial, dan interaksi sosial. Sedangkan aspek antropologi dalam karya sastra, meliputi sistem pengetahuan, adat istiadat, sistem kekerabatan, sistem peralatan hidup dan teknologi, mata pencaharian, kesenian, serta sistem kepercayaan dan agama. (Sudikan, 2007:6). Penelitian ini adalah penelitian yang menarik karena pertama selain Novel Kenanga mengandung tema tentang penderitaan, perjuangan, dan kecerdasan. Juga mengandung unsur kemaknaan adat yang terlihat pada beberapa hukum atau kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Bali sesungguhnya. Kemudian mengandung unsur kemaknaan dalam bentuk kharisma aristokratik di dalamnya yang terlihat pada setiap individu tokoh dalam novel kenanga.
Wawasan pembaca sangat diperlukan dalam membangun analisis penelitian yang komplek, komplit dan mencapai sempurna. Wawasan pembaca mengenai beberapa sudut pandang yang diperoleh dari beberap teori yang di paparkan akan menentuka interpretasi makna yang baik. Interpretasi tersebut dapat dikembangkan terhadap beberapa analisis yang lebih besar yang dapat berupa kritikan dan sejenisnya untuk mengungkap beberapa hal yang mengganjal. Tseperti yang dikatakan Manuaba (2004:22—23) bahwa wawasan dan “bekal” pembaca menentukan interpretasi makna terhadap teks, sehingga makna menjadi beragam dan dinamik. Hal itu pula yang akan menjadikan penelitian ini semakin menarik dan akan terbahas secara sempurna.
Berdasarkan beberapa hal di atas, maka penelitian ini sangat patut diteliti. Sehingga nantinya dapat terjabarkan beberapa hal penting mengenai pngungkapan adat dan karisma aristokratik kebangsawanan Bali dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah yang dapat diambil
1. Bagaimana adat kebangsawanan Bali dalam Novel Kenanga karya Oka Rusmini?
2. Bagaimana bentuk Kharisma Aristokratik kebangsawanan Bali dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini?
1.3 Tujuan
1. Mendeskripsikan analisis adat kebangsawanan Bali dalam Novel Kenanga karya Oka Rusmini
2. Memberikan deskripsi tentang analisis bentuk Kharisma Aristokratik kebangsawanan Bali dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini
1.4 Manfaat
4.1 Manfaat Teoretis
Secara teoretis, penelitian ini bermanfaat untuk memberikan sumbangan pengembangan pemikiran kesastraan terhadap pembaca. Selain itu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan masukan bagi pengembangan pengetahuan yang berhubungan dengan menulis proposal keilmiahan untuk menjadi bahan acuan bagi penelitian selanjutnya.
4.2 Manfaat Praktis
Bagi peneliti:
Memberikan pengetahuan lebih mengenai kajian sosiologi sastra pada teori antropologi sastra, dan pendekatan hermeneutik yang mengkaji tentang makna.
Bagi Pendidikan:
Menambah wawasan terhadap pembaca mengenai teori dan pendekatan mengenai hermeneutik teori antropologi sastra.
Bagi peneliti lain:
Penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan pijakan dan referensi untuk rekan-rekan jurusan bidang ilmu sastra baik di Indonesia maupun luar negeri sehingga penelitian selanjutnya dapat berjalan lebih efektif.
1.5 Batasan Penelitian
Novel Kenanga karya Oka Rusmini ini dapat dikaji menggunakan teori strukturalisme, teori antropologi, teori sosiologi sastra, dan teori lainnya. Namun penelitian ini hanya difokuskan pada kajian sosiologi sastra, teori antropogi sastra, dan pendekatan hermeneutik. Karena berdasarkan penelitian yang relevan yang akan dijelaskan selanjutnya, telah banyak yang meneliti teori struktural, dan teori antropogi dalam kajian religiusitas, dan unsur mitos. Maka penelitian dengan memadukan antara kajian sosiologi sastra menggunaan teori atropologi memiliki titik fokus penelitian ini. Melalui pendekatan hermenutik yang nantinya akan di interpretasi secara mendalam untuk memberikan makna yang sempurna. Batasan kajian hermeneutik ini adalah dalam analisis adat dan kharisma aristokratik, yaitu kharisma kebangsawanan.
A. Adat kebangsawanan Bali dalam Novel Kenanga karya Oka Rusmini
a.1 Anak yang miskin tak mampu sekolah diserahkan orang tuanya menjadi pembantu masyarakat Griya
Adat pada karya Kenanga ini adalah bentuk adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam golongan kaya atau dikatakan bahwa biasa dilakukan oleh masyarakat kelas atas. Masyarakat tersebut mengambil anak-anak pada masyarakat miskin dan tak mampu sekolah namun rajin bekerja. Dan orang tua anak-anak tersebut merasa senang karena telah mempersembahkan dan bukti kesetiaan pada kaum bangsawan.
”Anak-anak orang biasa yang rajin bekerja namun miskin dan tak mampu sekolah, sering diserahkan orang tuanya untuk jadi pembantu di Griya. Sekaligus sebagai tanda persembahan dan bukti kesetiaan pada kaum bangsawan. “(Rusmini, 2003:6)

sama seperti pada teks yang di tunjukkan dalam data di atas bahwa keluarga bangsawan biasa mengambil anak desa golongan sudra. Golongan sudra adalah golongan golongan orang-orang yang hidup di Griya.
Perkawinannya dengan paman Rahyuda boleh dibilang keterpaksaan demi agenda perjodohan orang-orang zaman dulu. Ibu paman Rahyuda meminta kepada bibi Kemuning agar menyerahkan anak perempuannya ke griya untuk dikawinkan dengan anaknya.Dulu hal semacam itu lumrah. Keluarga bangsawan biasa mengambil anak dari golongan sudra, seperti kemuning, untuk menjadi abdi di griya. Orang tua merekapun umumnya ikhlas bahagia. Bahkan ada rasa kebanggan tersendiri, apalagi kalau sampai putri mereka disunting bangsawan dan menjadi bagian keluarga griya. Mereka akan akan menjadi topik cerita, pusat teladan, dan kekaguman dan mendapat tempat terhormat di kalangan golongan sendiri. Sebuah kebanggaan yang kadang kejam, ketika harus ditebus dengan pengorbanan seumur hidup. (Rusmini, 2003:78)

a.2 Upacara Galungan yang Dijadikan Persembahan
Masyarakat Bali juga memiliki kebiasaan untuk mengirimkan dupa, Juli, dan ucapan selamat Galungan dan Kuningan. Juga pesan-pesan biasa seperti “Jaga diri baik-baik”
Kiriman dupa dan hal lainnya dilakukan untuk upacara persembahan
dari Bali ia mengirimkan dupa, jaje Juli, ucapan selamat Galungan dan Kuningan. Juga pesan-pesan biasa seperti “jaga diri baik-baik” (Kemuning). (Rusmini, 2003:32)
Kata "Galungan" berasal dari bahasa Jawa Kuna yang artinya menang atau bertarung. Galungan juga sama artinya dengan dungulan, yang juga berarti menang. Karena itu di Jawa, wuku yang kesebelas disebut Wuku Galungan, sedangkan di Bali wuku yang kesebelas itu disebut Wuku Dungulan. Namanya berbeda, tapi artinya sama saja. Seperti halnya di Jawa dalam rincian pancawara ada sebutan Legi sementara di Bali disebut Umanis, yang artinya sama: manis.
Menurut lontar Purana Bali Dwipa, Galungan pertama kali dirayakan pada hari Purnama Kapat, Budha Kliwon Dungulan, tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi. Dalam lontar itu disebutkan:
Punang aci Galungan ika ngawit, Bu, Ka, Dungulan sasih kacatur, tanggal 15, isaka 804. Bangun indria Buwana ikang Bali rajya.
Perayaan (upacara) Hari Raya Galungan itu pertama-tama adalah pada hari Rabu Kliwon, (Wuku) Dungulan sasih kapat tanggal 15, tahun 804 Saka. Keadaan Pulau Bali bagaikan Indra Loka. Sejak itu Galungan terus dirayakan oleh umat Hindu di Bali secara meriah. Setelah Galungan ini dirayakan kurang lebih selama tiga abad, tiba-tiba — entah apa dasar pertimbangannya — pada tahun 1103 Saka perayaan hari raya itu dihentikan. Itu terjadi keti-ka Raja Sri Ekajaya memegang tampuk pemerintahan. Galungan juga belum dirayakan ketika tampuk pemerintahan dipegang Raja Sri Dhanadi. Selama Galungan tidak dirayakan, konon musibah datang tak henti-henti. Umur para pejabat kerajaan konon menjadi relatif pendek.
kebiasaan masyarakat Bali yang ramah dan mengundang tamu dengan cara yang baik, mempersilakan dengan memasakan kekahasan masak betutu bebek yang merupakan makanan khas Bali
datanglah ke rumah. Nanti tiang suruh Kemuning masak betutu bebek, masakan pedas khas Bali. Dan plecing, Kangkung pedas untuk memoles wajahmu yang jelek itu.” (Profesor Rahyuda). (Rusmini, 2003:37)

a.3 Adat untuk Upacara Ngaben
Adat yang dibawakan dalam data ini menunjukkan masyarakat Bali biasa melaksanakan upacara pembakaran untuk masyarakat Bali yang sudah meninggal. Upacara tersebut adalah dengan melakukan ritual pembakaran pada mayat. Salah satu keterangannya adalah pada saat Jero Kemuning yang akan dibakar dengan memasuki api pembakaran.
Usai seminggu layon (mayat) disemayamkan di Bale, mayat Jero Kemuning memasuki api pembakaran. Upacara ngaben itu berlangsung besar-besaran.(Rusmini, 2003:129)
a.4 Susuk warisan leluhur, menjadi tabu dipakai orang sudra
Sudra (Sansekerta: śūdra) adalah sebuah golongan profesi (golongan karya) atau warna dalam agama Hindu di India. Warna ini merupakan warna yang paling rendah. Warna lainnya adalah brahmana, ksatria, dan waisya. Sudra adalah golongan karya seseorang yang bila hendak melaksanakan profesinya sepenuhnya mengandalkan kekuatan jasmaniah, ketaatan, kepolosan, keluguan, serta bakat ketekunannya. Tugas utamanya adalah berkaitan langsung dengan tugas-tugas memakmurkan masyarakat negara dan umat manusia atas petunjuk-petunjuk golongan karya di atasnya, seperti menjadi buruh, tukang, pekerja kasar, petani, pelayan, nelayan, penjaga, dll. (http://id.wikipedia.org/wiki/Sudra)
Sudra dalam hal di atas dimaknai secara tabu apabila mereka memakai baran-barang yang biasa dipakai masyarakat griya. Dalam hal ini dianalisis lebih lanjut bahwa susuk warisan leluhur adalah lamban esucian perempuan griya. Lambang kesucian
Kata beberapa penglisir, orang-orang tua di griya, susuk itu adalah lambang kesucian perempuan griya. Hanya dayu-dayu yang boleh menyentuh dan menyelipkan di sanggulnya...(Rusmini, 2003:199)
Menurut orang-orang griya, perkawinan mereka dulu tak sepenuhnya direstui orang tua. Orang tua Ratu Ibu tidak mau punya menantu Ratu Aji karena karat kebangsawanan keluarga mereka tidak sama. Kedua keluarga memang berkasta Brahmana, namun bahkan dalam satu kasta pun masih ada peringkat-peringkat lagi. Amat rumit.(Rusmini, 2003:200)
Dalam masyarakat Bali, adat seorang istri merawat anak dan suami menjadi hal biasa. Banyak sekali kewaajiban seorang istri terhadap keluarga misalnya pada saat upacara yang dilakukan anak yang memotong giginya. Maka seorang ibu yang baik akan mengusahakan sepenuhnya terhadap keluarganya walaupun acara itu adalah acara kecil.
Istri itu tugasnya ya merawat suami dan anak-anak. Dan yang paling penting bisa diajak mebraya. Kau tahu sendiri, di Bali kalau majenukan bis seharian. Banyak sekali acara adat, dari upacara kematian sampai undangan potong gigi. Makanya jadi istri itu bukan main-main. (Rusmini, 2003:225)
Sekali lagi dikatakan lebih lanjut oleh Intan sebagai anak angkat Kenanga. Intan merasa dirinya tidak pantas hidup di dalam keluarga Kenanga. Dia mengatakan bahwa dirinya hanya wong jero, artinya adalah wong jero yang hanya disuruh dan diperintah saja. Sebagai pembantu harus tahu diri.
Kehadiran Ratu adalah semangat bagi Ratu Kenanga. Ratu harus tahu itu. Tiang hanya wong jero, Ratu. Tidak pantas.” (Rusmini, 2003:276)
Kasih sayang yang Kenanga berikan kepada Intan adalah kasih sayang seorang Ibu. Namun Kenanga tahu bahwa Intan adalah keturunannya. Oleh karena itu ketabuan dalam adat Bali di hempaskan.
tiba-tiba Kenanga telah berdiri di belakangnya. Berusaha menyematkan susuk berlian ke rambut Intan.
“Tiang ingin kau lebih cantik.”
“Tapi susuk ini punya Ratu Ibu. Ibu sendiri yang ajarkan tiang untuk hormat pada Ratu Ibu...,”ujar Intan hati-hati.
Intan tahu bahwa memakai barang-barang Kenanga sebagai adalah tabu. Sebab mengenakan barang milik orang kaya masyarakat Griya akan mendapat akibat buruk atau semacam ketabuan yang mengakibatkan diri intan sebagai anak yang tidak tahu diri telah dirawat dan hidup dengan masyarakat griya.
Gadis itu tahu, memakai barang-barang Kenanga adalah tabu. Sebab Kenanga adalah bangsawan, sementara dirinya bukan. Konon, kata orang, taksuk (kekuatan gaib) bangsawan akan luntur jika berbagi benda pribadi dengan kaum bukan bangsawan. Dan Intan percaya itu.........(Rusmini, 2003:153:1)
Dalam dunia Mahendra, ada satu pokok yang harus dijunjungnya, lebih daripada apapun : tata krama. Kunci dari semua perkara terletak pada tata krama, pada aturan permainan yang telah disepakati sejak zaman dahulu kala, seperti kata ibunya, hidup di griya memang susah. Banyak sekali aturannya. Namun tetap aturan itu tidak boleh di sepelekan, sebab sudah mendarah daging. Sudah menjadi guratan hidup yang terwariskan sebagai wasiat dari kawitan, para leluhur. (Rusmini, 2003:167:1)

B. Karisma Aristokratik kebangsawanan Bali dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini
Karisma aristokratik yang dilakukan dalam masyarakat griya membuat banyak masyarakat lain terpesona. Banyak hal yang dapat membedakan masyarakat tersebut dengan masyarakat lain.
b.1 Kesopanan dalam Berperilaku
Yang pertama bentuk karisma tersebut terdapat dalam kesopanan perilaku yang biasa dilakukan oleh bangsawan di dalam riya. Dalam teks di bawah ini terlihat masyarakat griya apabila ia bertemu dengan orang lain, ia akan menampakkan penghormarannya terehadap orang lain. Yaitu sepeti yang dijelaskan dalam karya Oka Rusmini bahwa saat Kemuning mempersembahkan penghormatannya terhadap Kenanga dengan anggukan kepala. Masyarakat griya telah mendidik manusia-manusia yang hidup disana penuh dengan kesopanantunan. Tata krama yang ketat menyebabkan masyarakat griya nampak memiliki karisma yang sangat bagus.
Kedua, (Rusmini, 2003:26)” Karisma yang ditunjukkan “Tiap bertemu, kemuning tidak pernah menyapa Kenanga lebih dulu, lalu selalu menganggukkan kepala penuh hormat. Tampak sekali betapa griya telah berhasil mendidiknya dengan tata karma yang ketat. Tampak sekali betapa griya telah berhasil mendidiknya dengan tata karma yang ketat.
b.2 Gaya Bicara yang dipakai masyarakat Griya
Gaya bicara seorang yang hidup di dalam griya memiliki tutur bahasa yang sangat lembut. Kata-kata yang halus menandakan bahasa Bali yang sangat tinggi. Derajat kebangsawanan membuat orang lain terpikat.
Ketiga, (Rusmini, 2003:26) Gaya bicara perempuan itu pun sangat lembut, bahkan nyaris tak terdengar. Tutur katanya begitu halus. Terangkai rapi dalam hirarki bahasa Bali yang sungguh tinggi, yang Kenanga sendiri pun kadang tak tahu apa artinya. Dalam banyak hal, Kemuning justru tampak lebih bangsawan daripada ibu Kenanga yang seorang Ida Ayu, perempuan bangsawan tulen.

Tidak biasanya kau berbaik hati mengunjungi tiang. Pasti ada soal penting yang memerlukan bantuan tiang. ...(Rusmini, 2003:37)
Ketidakkuasaan Kenanga dalam melawan laki-laki yang telah mengganggunya, yang telah membuat dirinya sakit hati karena ketidaktegaan tehadap saudara kandungnya, Kencana. Kharisma atistokratnya muncul ketika ia memiliki sifat nbelas kasih kepada orang lain termasuk kepada saudaranya.
No problem,”sahut Bhuana dengan enteng. Kenanga menghela napas panjang. Rasanya ingin langsung menampar mulut laki-laki dihadapannya itu. Kalau bukan demi Kencana, tidak sudi ia menginjak tempat ini.(Rusmini, 2003:37)
Bukan dipandang sebagai anak, Kenanga menganggap seorang putri yang bersamanya dan begitu dekat dengannya ia perlakukan dengan sangat baik. Namun anak tersebut merasa dirinya tidak pantas dirawat dan dimanjakan sepenuhnya oleh Kenanga. Anak itu menganggap bahwa dirinya bukan wong jero atau dikatakan sebagai orang dalam. Dirinya hanya takut dan dia harus sadar akan keberadaannya di dalam Griya. Bukan sebagai penghuninya, namun sebagai orang yang membantu daam mengurusi kerumahtanggaan griya tersebut.
Terlalu durhaka tiang kalau tidak bisa membahagiakanmu. Kau telah memberikan semua yang terbaik untuk tiang. Demi tiang, kau telah diciptakan sebentuk kehidupan yang aneh. Kaupinta orang-orang mencintai tiang seperti layaknya tiang anak kandungmu sendiri. Kau benci mereka yang tak menghargai tiang. ........Ratu, bukankah kau tahu bahwa tiang adalah wong jero? Dan wang jero harus tahu diri? (Rusmini, 2003:136)
SIMPULAN

1. Adat kebangsawanan Bali dalam Novel Kenanga karya Oka Rusminiterdapat pada Anak yang miskin tak mampu sekolah diserahkan orang tuanya menjadi pembantu masyarakat Griya. Adat pada karya Kenanga ini adalah bentuk adat yang biasa dilakukan oleh masyarakat dalam golongan kaya. Upacara Galungan yang Dijadikan Persembahan. Di atas telah dijelaskan bahwa keluarga bangsawan biasa mengambil anak desa golongan sudra. Golongan sudra adalah golongan golongan orang-orang yang hidup di Griya.
Adat untuk Upacara Ngaben. Adat yang dibawakan dalam data ini menunjukkan masyarakat Bali biasa melaksanakan upacara pembakaran untuk masyarakat Bali yang sudah meninggal. Upacara tersebut adalah dengan melakukan ritual pembakaran pada mayat.
Susuk warisan leluhur, menjadi tabu dipakai orang sudra. Dalam hal ini sudra dalam hal di atas dimaknai secara tabu apabila mereka memakai baran-barang yang biasa dipakai masyarakat griya. Dalam hal ini dianalisis lebih lanjut bahwa susuk warisan leluhur adalah lamban esucian perempuan griya. Lambang kesucian

2. Karisma Aristokratik kebangsawanan Bali dalam novel Kenanga karya Oka Rusmini terdapat pada Kesopanan dalam Berperilaku terdapat pada Gaya bicara seorang yang hidup di dalam griya memiliki tutur bahasa yang sangat lembut. Kata-kata yang halus menandakan bahasa Bali yang sangat tinggi. Derajat kebangsawanan membuat orang lain terpikat. Ketidakkuasaan Kenanga dalam melawan laki-laki yang telah mengganggunya, yang telah membuat dirinya sakit hati karena ketidaktegaan tehadap saudara kandungnya, Kencana. Kharisma atistokratnya muncul ketika ia memiliki sifat nbelas kasih kepada orang lain termasuk kepada saudaranya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar